19:05
0

Kita sudah tahu persis sebagai orang indonesia keadaan jakarta itu kalau hujan jalan rayanya bakal jadi sungai alias banjir, Jika kita pengendara motor atau mobil yang melintasi jakarta tentu hal itu memang mengganggu dan bahkan  banjir bisa menyebabkan mesin motor mati, jika nekad menerabas banjir tanpa perhatikan ketinggian airnya. Tapi ternyata masalah banjir jakarta ini sudah ada sejak 1600 tahun yang lalu jadi sehebat apapun pemerintahnya tidak akan mampu mengatasi banjir jakarta, karena memang kondisi wilayah jakarta yang datarannya lebih rendah dari pada aliran sungai dan juga irigasi dan sanitasi yang kurang memadai ditengah padatnya pemukiman.Mungkin bisa jadi itu semacam kutukan, hehehe.. mungkin salah satu cara agar banjir jakarta bisa teratasi hanyalah membangun sebuah kota terapung  modern seperti pemukiman di rawa-rawa. Pada saat banjir tiba orang-orang harus menggunakan perahu nampan kecil atau speed boat mini bukan dengan sepeda motor atau mobil.

Seperti diberitakan dari okezone, ternyata banjir di Jakarta itu sudah eksis sebelum zaman Belanda lho! Konon, banjir sudah jadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri sejak tahun 403 Masehi atau 1614 tahun silam!banjir dan banjir. Saat curah hujan masih asyik mengguyur Ibu Kota sejak beberapa waktu belakangan, perkara banjir muncul lagi, seolah tak peduli kebijakan apa yang diambil pemerintahan daerah.

Ya, 16 abad lalu banjir di sebuah kawasan utara Jawa Barat ini, sudah jadi urusan yang tak kunjung tersolusikan di era keyajaan Raja Purnawarman, Sri Maharaja dari Kerajaan Tarumanegara. Buktinya “termaktub” di Prasasti Tugu yang dulu ditemukan di Koja, Jakarta Utara.Prasasti itu menuliskan tentang penggalian kanal atau Sungai Candrabhaga (Bekasi) dan Sungai Gomati sebagai saluran air, untuk mencegah banjir di musim hujan dan menghindari kekeringan di musim kemarau.Pengerjaan dua sungai itu disebutkan dilakukan di wilayah yang sekarang jadi area Bekasi dan Tangerang, pada tahun ke-22 pemerintahan Raja Purnawarman.Catatan tentang banjir di Jakarta sempat jadi misteri, hingga Belanda masuk ke nusantara dan membangun Kota Batavia dengan konsep waterfront city, layaknya Amsterdam. Di masa Gubernur Jenderal keempat Hindia Belanda Jan Pieterszoon (JP) Coen, problem banjir baru jadi perhatian yang serius.

Terlebih saat Jakarta (dulu Batavia) mengalami banjir terbesar di masa pemerintahan Hindia Belanda pada 1621. Problem serupa berulang pada 1654, 1872, 1893, 1909, serta 1918.Kala itu, banjir besar juga melumpuhkan sejumlah aktivitas dan sarana transportasi. Mulai dari trem hingga kereta api. Lembaga penanganan banjir di Batavia, Burgelijke Openbare Werken, baru dibentuk pada 1850-an.Namun baru pada 1922, dilakukan sebuah upaya yang komprehensif oleh pemerintah Hindia Belanda dengan membangun Kanal Banjir Barat (KBB) yang dikepalai Profesor Dr Herman van Breen. Sayang, meski telah rampung, banjir tetap melanda Jakarta di saat musim hujan.

Di zaman Indonesia merdeka, Presiden pertama RI Ir Soekarno, pernah mempopulerkan penanganan “Kopro Banjir”. Sebutan itu merupakan kepanjangan dari Komando Proyek Pencegahan Banjir pada 1965.
Proyek itu menghasilkan berdirinya sejumlah waduk, seperti Waduk Pluit, Waduk Setiabudi, Waduk Tomang dan Waduk Grogol. Sementara di rezim Orde Baru tepatnya 1973, Presiden keda RI Soeharto pernah merencanakan perluasan KBB, meski akhirnya batal diwujudkan.Sebagai pengganti rencana yang batal itu, pemerintahan rezim Soharto bersama pemerintah daerah membangun jaringan pengendali banjir dengan Sistem Drainase Cengkareng pada 1980-an.Namun problem yang “bandel” ini tak juga bisa dijinakkan. Banjir terus terjadi pada 1979, sampai banjir besar yang jadi bencana nasional pada 2002, lantas pada 2007, serta 2013. (okoezone)

0 komentar:

Post a Comment